KINANTI terpingkal-pingkal, matanya tidak berhenti mengeluarkan air. Sesekali di sela tawanya, terdengar bengek. Tangan pun ikut bereaksi, memukul-mukul pelan bagian diri yang hisa dipukul sebagai bentuk luapan emosi. Ekspresi atas respons sesuatu yamg amat lucu. Bagi Kinanti, apa yang dialaminya sungguh lelucon. Susah payah mengumpulkan keberanian selama berhari-hari hanya untuk beberapa menit yang berakhir tragis—lelucon paling parah tahun ini. Tidak ada yang bisa berusaha menghentikan aksi Kinanti. Teman Kinanti berperan sebagai penonton, wajah temannya pilu mengabu, tidak ada bahagia-bahagia sama sekali. Ruangan kelas yang hanya terisi mereka berdua terus memantulkan gelak tawa dari satu sudut ke sudut lain. Sahutan gema itu begitu miris, mengiris siapa pun yang mendengar dan mengetahui peristiwanya.
“Cowok itu emang gila, sih!” Kinanti bersahut di tengah-tengah tawa. Dia sampai merunduk saking lelah dan sakit karena banyak tertawa. *Bayangin aja, njir, enam bulan gue sama dia sedeket itu. Tapi, dia nganggep gue temen doang?”
Kinanti menggeleng tidak menyangka, “Itu enggak masuk akal! Terus maksud perhatian dia selama ini apa? Maksud sikap lembut dia ke gue itu apa? Maksud dan tujuan effort yamg dia lakuin buat gue selama ini apa? Bullshit!”
Mulut Kinanti menganga lebar sekaligus menyungging senyum. Ditatapnya Ajeng yang membisu. Tidak mampu berkutik. Takut-takut responsnya akan menjadi lelucon baru bagi Kinanti. Melihat bentuk rupa Ajeng di depannya, Kinanti mendengkus, ditegakkan kembali tubuh gempalnya, kali ini dia berusaha meredakan tawa. “Lo itu enggak ada empatinya, ya? Ini temen lo baru aja mengalami kejadian mengenaskan paling bod—HAHAHA…”
Kinanti kembali tergelak pada kalimat terakhir. Kali ini, Kinanti tersungkur di lantai. Memukul-mukulnya lantai. Untuk yang satu itu, Ajeng bereaksi, beranjak dari kursi dan mendekati Kinanti. Ajeng mulai membuka suara, “Nan, udahlah. Lo mau sampe kapan kayak gini? Udah hampir dua jam. Rahang lo enggak kram, apa?”
Kinanti mengerling ke Ajeng. “Justru ini cara gue! Lo enggak tau, ya, betapa hati gue jauh lebih kram, dicabik-cabik cakar macan! RAWR—HAHAHA, anjir lucu banget, ya?”
Ajeng berdecak, amarah dari dalam Kinanti seakan-akan tersalur ke Ajeng. Ajeng berdiri dan mengumpat, “Gue samperin tuh cowok!”
Kinanti mengerutkan dahi. Sebelum Ajeng benar-benar keluar dari kelas, Kinanti segera menarik tangan Ajeng dan menatap tajam. Ekspresi jenaka Kinanti hilang seketika, seluruh otot-otot wajahnya mengeras. “Jangan gila, ya, Ajeng. Enggak ada yang salah di sini. Dia enggak pernah meminta gue untuk suka sama dia. Jadi, jangan bikin gue makin malu lagi. Udah cukup gue buang muka gue di depan dia terakhir kali. Udah cukup, Jeng, gue nembak dia dengan pedenya. Intinya, yang gue butuhin cuma merayakan patah hati.”
•••
Sepulang dari kampus, Kinanti dan Ajeng sibuk membeli pernak-pernik untuk membuat sebuah perayaan kecil-kecilan. Kinanti rela kamar indekosnya disulap sedemikian rupa, hari ini akan menjadi sejarah perayaan paling bahagia di hidup Kinanti. Lagu Secukupnya milik Hindia menjadi trek lagu, membuat suasana mendekor jadi lebih hidup. Meski lirik yang dilantunkan Baskara bila dipahami, begitu menusuk, tetapi sentakan drum membuat kepala dan tubuh tidak hentinya bergoyang mengikuti tempo.
Kita semua gagal, ambil sedikit tisu, bersedihlah secukupnya!
Kinanti dan Ajeng bernyanyi bersama. Beruntunglah suasana indekos Kinantan sedang sepi-sepinya. Ajeng pun memilih menginap malam ini untuk menemani perayaan patah hati Kinanti. Ajeng tahu ini adalah ide gila, tetapi bukan ide buruk. Dalam hati, Ajeng berdecak dan tersentuh dengan sikap Kinanti. Ketika perempuan lain—bahkan Ajeng sendiri—memilih untuk menangis semalaman karena patah hati, Kinanti memilih untuk menghabiskan malam dengan bersenang-senang. Kamar indekos Kinanti yang tadinya tidak begitu sumpek, kini tampak penuh dan berwarna. Balon dan bunga berwarna merah jambu terpasang manis di tiap sudut. Pada sisi dinding, terdapat rangkaian balon abjad yang membentuk kalimat SELAMAT PATAH HATI, dilengkapi tirai ala-ala sebagai latar belakang. Kinanti dan Ajeng sendiri sudah berganti pakaian dengan dress andalan masing-masing. Ajeng dengan dress tosca, Kinanti denhan dress biru laut. Kali ini lagu Rehat miik Kunto Aji mengalun dengan volume yang dikecilkan, mengingat para penghuni indekos sudah berada di kamar masing-masing. Kimanti dan Ajeng duduk berhadapan di atas ranjang. Di tengah-tengah mereka terdapat beberapa keik cangkir dengan varian berbeda-beda. Masing-masing di atas keik terdapat satu abjad yang kalau digabungkan akan merangkai frasa SEMANGAT HATI!
“Selamat, ya, Nan,” ujar Ajeng setelah keduanya hening beberapa menit. Hanya menatap keik tanpa selera.
Kinanti sedikit tersentak dan tersadar, kemudian dia terkekeh, “Ah, iya, Jeng. Thanks!” Kinanti memberi sedikit senyuman simpul. “Aneh, ya? Gue berlebihan enggak, sih? Ya emang sih ini norak banget, tapi inilah cara gue, memerdekakan perasaan yang terjajah!”
Kedua perempuan itu terkikik geli. “Ya, gue sih tadinya enggak abis pikir, ya, sama lo. Nyaris mau geret lo ke RSJ tau?!” Ajeng melotot sebagai tanda ekspresi kalimatnya. “Tapi, kalo gue pikir-pikir lo ada benernya—sekaligus unik sih—bisa-bisanya bikin acara kayak gini cuma buat rayain patah hati?”
“Dulu gue juga bakal nangis bombay kok kalo patah hati. Tapi, sekarang gue cuma pemgin cara lain yang lebih bikin gue hepi aja. Ini hidup guu, gimanapun gue lebih sayang sama diri gue sendiri, jadi gua enggak mau ngebiarin diri gue terpuruk, Jeng.” Suara Kinanti terdengar lirih pada kalimat terakhir. Dia menunduk dalam.
Namun, perayaan ini, setiap ucapan yang dilontarkan Kinanti hanya sebagai penghibur hati yang sampai saat ini pun masih terasa sesak. Sejak tadi pagi, sejak peristiwa itu, hatinya terasa penuh, benaknya membendung pedih, seakan-akan tidak sabar untuk menyeruak keluar, meledak, dan meluncur melalui air mata. Bagaimanapun Kinanti masih punya hati, meski remuk, Kinanti juga butuh menangisi hatinya. Dalam tundukan kepala, Kinanti membiarkan air katanya mengalir deras. Kinanti tidak bisa membohongi Ajeng, bahunya bergetar hebat, kedua tangan Kinanti berusaha kuat menghapus air mata yang tidak kunjung berhenti. Tiba-tiba pundak Kinanti ditarik dan dibawa ke dalam pelukan Ajeng. Ya sudah, tangisan Kinanti pecah.
Tidak apalah. Kinanti juga manusia, punya perasaan. Setidaknya dia kali ini menangis di tengah peryaan bahagianya. Perayaan sederhana yang akan menjadi saksi Kinanti menerima sebuah penolakan, bahwa Kinanti telah merelakan takdir yang digariskan untuknya, rentang perasaan yang tidak harus dimiliki. Kinanti tidak mau membuang-buang waktu untuk menyesali apa yang sudah diputuskan sejak enam bulan terakhir. Bagi Kinanti, tidak ada yang perlu disesali dari kenangan selama enam bulan. Nyatanya, enam bulan terakhir yang dimiliki Kinanti adalah waktu-waktu terbahagia yang jarang didapatkan, bahkan dari orang-orang rumah. Perayaan ini akan menjadi pelipur lara, pengikisan kesal pada lelaki yang tidak tahu apa-apa. Perayaan ini untuk membuat Kinanti tidak m
embenci lelaki yang amat baik itu.
Komentar
Posting Komentar