Langsung ke konten utama

ketika cinta tidak sesuai kebutuhan

 Katanya mencintai itu bagian dari kehidupan, hidup tanpa cinta tidak akan berjalan semestinya. Namun, bukan berarti harus mendewakan cinta, ‘kan? Awalnya berpikir bahwa cinta adalah segalanya. Sampai akhirnya merasa, selama ini terjebak luka dalam cinta. Cinta untuk tentang kebutuhan, bukan kebutaan. Cinta itu membuat kita merasa butuh, bukan buta. Kadang kala, manusia suka salah langkah, jatuh cinta lebih dulu sebelum memikirkan apakah yang dicintai sesuai kebutuhan? Pernahkah berpikir, selama mengemban cinta, mengapa makin mencintai justru mengenal patah hati—jika takpernah patah hati, abaikan? Sudah saatnya belajar untuk melihat dan menemukan apa yang sesuai dengan kebutuhan, baru kemudian belajar mencintai apa yang dibutuhkan. Sebab, kadang kala, kita terlalu mencintai sesuatu yang bukan kebutuhan. Pada akhirnya terluka karena tidak bisa bersama. Lantas, apakah jika mencintai sesuatu kebutuhan, akan terbebas dari luka? Tidak juga. Namun, mencintai seseorang yang tidak bisa memenuhi harapan dan ekspektasi pun jauh lebih menyakitkan. Bukan hanya kita yang membutuhkan, tetapi kita juga menjadi kebutuhan orang lain. Dan, ketika orang yang dicintai tidak membutuhkan kita, maka untuk apa dipertahankan perasaannya?

•••

AKU memasuki toko bunga yang disambut dengan semerbak harum vanila. Sebetulnya aku tidak mengerti mengapa pemilik toko bunga ini justru memilih pengharum wangi kue daripada bunga itu sendiri. Itu hanya pertanyaan sekilas yang mudah lenyap begitu saja karena hidungku dengan senang hati menghirup dalam-dalam wangi vanila yang menenangkan diri. Oleh karena itu, aku menjadi pelanggan setia toko bunga bernama Toko Bunga Hati. Aku mendekati meja panjang, di sana berdiri seorang lelaki berkemeja biru dengan celemek hitam bermotif bunga matahari di bagian dada. Dia menyambut senyumanku ketika mendengar pintu kaca terbuka. Aku selalu bersemangat menangkap tatapan menyala lelaki itu saat menemui diriku yang kini telah berdiri di hadapannya. Aku langsung menembak, “Hari ini aku mencari bunga mawar merah merona.”

Tanpa menjawab, lelaki itu segera berjalan memutari meja, melewatiku, kemudian menghentikan langkahnya tepat di belakangku. Aku menoleh, tampak lelaki bertubuh tinggi menjulang itu meraih beberapa tangkai bunga mawar, sesuai warna yang kumau, merah merona dan cantik. “Wow, itu cantik banget!” decak kagum. Lelaki itu dengan lihai memasukkan lima tangkai bunga ke dalam plastik yang sudah digulung rapi. Kemudian dia berbalik dan memberikannya ke arahku. 

“Terima kasih, Zay.” Aku meraih sebuket kecil bunga yang telah dimasukkan ke dalam paper bag. “Seperti biasa, udah aku transfer, ya.”

“Kamu masih melakukan hal yang sama, Fit?” tanya lelaki itu sambil mendekati kulkas di pojok ruangan dekat meja panjang.

Aku terdiam sejenak karena pertanyaan lelaki itu membuatku tersadar. Melakukan hal yang sama? Benar juga, sampai tiba hari ini pun aku sudah lupa berapa kali tepatnya melakukan hal yang sama itu. Selama ini aku merasa senang melakukannya. Aku selalu suka datang dan mencium aroma vanila di toko Bunga Hati. Aku selalu senang, menemui seseorang setelah melangkah keluar dari toko ini. Aku selalu senang memberikan bunga ke seseorang itu. Dan, aku selalu senang seseorang itu menerima bunga-bunga yang kuberi. Aku tidak tahu pasti sudah berapa banyak bunga yang tersimpan di rumah seseorang itu. Yang kutahu seseorang itu pasti menyimpan dan merawat bunga-bungaku dengan baik. Sampai suatu saat nanti, seseorang itu akan menjadikanku salah satu bunga terindah dalam hidupnya melebihi bunga-bunga yang pernah kuberikan. Aku benar-benar tidak sabar menantikan hari itu tiba!

“Masih, jangan ditanya bosan atau enggak deh, Zay! Justru cuma dengan cara ini aku bisa ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri, aku sama dia udah jarang bertemu semenjak program mengajar itu selesai. Intinya sih aku enggak pernah bosan karena setiap melihat wajah dia itu udah cukup mengisi daya hari aku.”

Aku meraih botol susu vanila yang disodorkan lelaki itu ke arahku. Lelaki itu mengangguk seraya duduk di bangku kayu, berhadapan denganku. Dia meneguk sedikit botol kopi itu dan kembali bertanya, “Setelah itu, apa yang terjadi?*

Aku menaikkan sebelah alis—meskipun mustahil naik satu, pasti alis sebelahku ikut naik. Apa yang terjadi? Memang apa yang harusnya terjadi setelah itu selain dia menerima bunga dan mengucapkan terima kasih? “Ya… setelah itu, dia menerima bunga yang aku kasih dan bilang terima kasih. Itu sih. Kenapa?”

Tidak ada jawaban, tetapi aku menangkap tawa kecil yang sama sekali tidak lucu dari bibir lelaki itu. Sebetulnya aku tersinggung, tetapi aku berusahalah mengabaikan, mungkin saja dia menertawakan hal lain—meskipun itu jelas sekali respons otomatis atas pernyataanku barusan. Aku membuang muka dan saat itu menemukan pot bunga sedang berisi bunga matahari yang kini telah tumbuh. Setiap aku ke toko Bunga Hati, aku akan selalu menemukan pot bunga matahari dekat meja panjang yang diletakan di bawah. Bunga itu selalu menunjukkan pertumbuhan yang cantik. Aku mendekati bunga matahari itu, aku simak dan perhatikan baik-baik, aku tersenyum, entah mengapa aku merasa bunga itu tersenyum padaku. Pernah di suatu hari aku ingin membeli bunga ini, tetapi si pemilik toko dengan tegas menjelaskan bahwa bunga ini tidak dijual. 

“Zayyan, bunga kamu yang satu ini makin cantik aja,” tuturku.

Zayyan berdeham dan berkata dengan nada menekan, “Aku yakin kamu kasih ingat kalau bunga itu tidak akan pernah kujual.”

Aku mendengkus dan menoleh ke arah Zayyan yang sibuk meminum kopinya, “Aku, ‘kan, enggak nanya soal harga bunga ini! Lagian kalau dilihat-lihat kamu mengambil langkah yang tepat. Semakin aku lihat bunga ini tumbuh, aku merasa bunga ini terlalu berharga untuk dimiliki orang lain. Makanya kamu merawatnya, ‘kan?”

Lagi-lagi aku tidak mendapatkan jawaban. Kurasa memang lelaki itu sama sekali tidak tahu cara menjawab pertanyaan terlalu sederhana dariku. Aku berdiri dan kembali berdiri di hadapan Zayyan meraih paper bag berwarna biru langit. “Aku harus pergi sekarang, sebelum dia pergi dari tempat biasanya.”

“Semoga berhasil,” ujar Zayyan seperti biasa. Aku mengangguk dan tersenyum, paling tidak lelaki itu tabu caranya memberikan dukungan moral terhadap temannya ini. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan toko Bunga Hati, Zayyan memanggilku yang membuahkan harus berhenti di balik pintu dan menatap lelaki itu. Zayyan berkata, “Lain kali jangan mendengkus di depan bunga matahariku.”

•••

Pukul empat sore, biasanya lelaki itu ada di basecamp-nya. Aku sudah berdiri di depan sebuah gedung yang tidak terlalu besar, tetapi cukup luas untuk mengadakan sebuah perkumpulan mahasiswa untuk membahas peminatan yang sama. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi aku tidak juga menemukan lelaki itu. Kembali aku mengecek pesan yang setengah jam lalu kukirim, sudah terkirim dan dibalas kalau dia akan menemuiku lagi di sini—seperti biasa. Mungkin sedang sibuk, aku mencoba berpikir positif. Sambil melihat lalu lalang para mahasiswa yang keluar masuk. Aku hanya menunduk, meski kadang-kadang mendongak dan menunduk ke arah pintu, berharap menemukan lelaki itu keluar dari sana.

Di tengah hiruk-pikuk suara ramai, sayup-sayup aku mendengar percakapan dari balik pintu yang takjauh dari tempatku berdiri. Aku sedang taktahu harus melakukan apa, tidak ada salahnya memfokuskan pendengaran terhadap percakapan tersebut. 

“Anak-anak nanyain tuh kapan lo balik lagi ke panti, katanya mereka nungguin bunga dari lo.” 

“Akhir-akhir ini gue lumayan sibuk, Ti. Yang jelas gue bakal ke sana kok. Stok bunga di rumah gue juga udah numpuk.”

Aku mengerutkan kening. Itu suara yang kukenal. Suara lelaki itu. Lelaki yang selama ini berperan sebagai pengisi daya hari-hariku. Bunga menumpuk? Apa maksudnya?

Terdengar kekehan dari seorang perempuan. “Lagian lo kalo enggak suka sama Fita mending ngomong langsung aja. Enggak kasian apa, setiap sore bawain bunga buat lo? Lama-lama lo jadi tukang kebon!”

Aku menunduk. Bahuku terkulai lemas. Itu pernyataan yang dalam sekejap menyerang hati. Seperti sebilah pisau tajam yang dengan tepat sasaran menusuk ulu hati. Sampai-sampai terasa sesak, rasa sakit itu berdesakan sampai membuat sesak sepenuh hati hingga rongga dada. Namun, aku masih bertahan dan berharap jawaban lain dari lelaki itu. 

“Iya, nanti, nunggu waktu yang tepat deh, Ti. Gue bingung cara ngomongnya gimana. Untuk saat ini, gue masih jaga perasaan dia aja dan jaga sikap gue, biar dia enggak terlalu berharap sama gue.”

Aku memejamkan mata. Lelaki itu menyambut pernyataan perempuan itu dengan baik. Kini sebilah pisau lagi-lagi mendarat, bukan hanya menusuk, melainkan juga menyayat-nyayat dinding hati berkali-kali. 

“Dengan membiarkan dia terus-menerus menemui lo, itu secara enggak sadar, bikin dia berharap lebih sama lo, Dik. Baik-baik deh lo. Gue duluan.”

Tidak lama pintu berdecit dan suara langkah kaki sempat terhenti dan kemudian taklama berjalan kembali, berhenti di depanku. Aku masih menunduk, tidak berani mendongak. Namun, aku dapat merasakan sebuah tepukan lembut di bahuku. “Fit, mending lo pulang aja. Apa yang lo lakuin selama ini cuma buang-buang waktu. Gue duluan, ya.”

Aku bergeming, bahkan sampai suara langkah kaki kembali terdengar dan menjauh. Aku mengatur napasku yang begitu susah dihela. Perlahan-lahan kutarik napas, menahannya beberapa detik, dan membuangnya perlahan-lahan. Aku mengerjakan mata yang sudah membendung air beberapa kali. Tidak ada pilihan lain. Perempuan itu benar. Kutegakkan tubuh dan mendongak, tanpa menoleh ke arah pintu, melangkah menjauh dari tempat ini. Baru beberapa langkah, suara seseorang memanggilku. Mau tidak mau aku harus menghentikan langkah. Ya, mau tetap melangkah, rasanya tidak sopan. Aku berbalik dan menemukan lelaki itu telah berdiri di hadapanku.

“Kamu udah selesai?” tanyaku berusaha menetralisir gemuruh hati yang melonjak. 

“Udah. Kamu mau ke mana tadi?” tanya lelaki itu.

“Ah, itu…” Aku tampak berpikir sejenak untuk menemukan alasan yang tepat. “Tiba-tiba ada urusan mendadak. Aku duluan, ya!”

Kemudian aku berlari dan melambaikan tangan ke arah Dika, lelaki yang entah sudah berapa kali kutemui di sore hari untuk memberi bunga. Dika, lelaki yang sudah tiga bulan ini ku putuskan untuk menjatuhkan hati padanya. Dika, lelaki yang saat ini pula keputusan untuk menyudahi melakukan hal yang sama berulang kali. Melakukan hal yang sama tanpa memberikanku kepastian yang pasti. Melakukan hal yang sama, tetapi berkali-kali pula aku tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan darinya. Cinta. Tidak ada cinta untukku. Yang ada hanya cinta dariku untuk Dika. Cinta yang sia-sia karena Dika tidak membutuhkannya.

•••

Aku membuka pintu kaca dan memasuki toko Bunga Hati. Melewati beberapa pelanggan yang sibuk memilih bunga. Aku berjalan lurus, menuju kursi dekat kulkas dan duduk di sana. Aku meletakkan paper bag di lantai, begitu saja. Aku bersandar dan melihat ke arah jendela di sebelah kiriku. Untunglah tertutup tirai, sehingga matahari sore tidak menggangguku. Sementara, Zayyan masih sibuk melayani pelanggan. Sampai satu per satu pergi, terdengar langkah kaki Zayyan mendekat. Suara berisik dari paper bag itu tidak membuatku bergerak sedikit pun. Aku sudah tahu, itu pasti Zayyan. Aku sedikit mengintip apa yang dilakukan Zayyan dengan bunga mawar yang kini sudah keluar dari paper bag. Kemudian, kembali beralih ke jendela.

“Fita, kamu tahu enggak, cinta itu seperti bunga mawar ini?” 

Aku menggeleng, tanpa beralih sedikit pun.

“Indah, tapi berduri. Kamu pasti udah sering dengan kiasan itu, ‘kan? Tapi, manusia tidak peduli dengan durinya karena terlena dengan keindahannya. Manusia terlalu terbuai dengan cinta, sampai melupakan ada luka yang akan dihadapi.”

Aku diam saja.

“Tapi, bunga mawar itu akan selalu ada dan menjadi bunga cantik. Begitu juga dengan cinta, cintaku itu akan selalu menjadi bagian dari kehidupan. Tergantung kamu memperlakukan cinta itu bagaimana? Kalau kalau menggenggam kuat bunga mawar, memaksanya, kamu akan terluka. Begitu pula ketika kamu memaksakan cinta, kamu akan terluka karena cinta.”

Sebutir air mata mulai mengalir saat berkedip. Kedipan selanjutnya, mengalir lagi, setiap kedipan mengalirkan air mata.

“Kamu tidak membutuhkan bunga mawar yang berduri lagi, Fita. Coba sekarang tanyakan pada dirimu, bunga seperti apa yang kamu butuhkan? Bunga yang dapat membuatmu tersenyum dan merasa nyaman?”

Di antara pikiran yang kusut, aku hanya dapat membayangkan dan menemukan satu bunga. Tanpa sadar, aku tersenyum simpul. 

“Apa pun bunga itu, meskipun kamu tidak mencintai bunga itu seperti kamu mencintai bunga mawar tadi. Tidak ada salahnya belajar mencintai bunga yang kamu butuhkan, ‘kan?”

Salah satu yang membuatku takbosan mendatangi toko Bunga Hati bukan hanya harum vanilanya, aku selalu tertarik dengan bunga matahari yang selalu menarik perhatianku. Bunga matahari yang takpeenah mau dijual oleh sang pemilik toko.

“Karena ternyata bunga mawar ini tidak sampai kepada pemiliknya. Kamu bebas memilih bunga apa pun di sini untuk kamu bawa pulang. Gratis.”

Aku menoleh dan menatap Zayyan serius. Lelaki itu kini menatapku penuh arti. Cepat-cepat aku hapus air mata, menghampiri Zayyan, kemudian tanpa mengatakan apa pun, aku mengarahkan tangan ke arah pot bunga matahari. “Itu. Aku butuh bunga itu.”

Zayyan sempat memandang bunga mataharinya. Tampak dia sudah mengira dengan jawabanku. Namun, aku tidak mempedulikannya.

“Itu punya aku,” balas Zayyan singkat. 

Kutatap Zayyan tajam. *Aku mau itu. Aku butuh bunga itu. Bunga matahari itu harus kubawa pulang. Aku janji enggak bakal mendengkus di depannya.”

Selanjutnya, Zayyan menarik dan mengangkat pot bunga matahari itu. Lagi-lagi, bunga matahari itu seperti tersenyum ke arahku, bagaimana aku tidak membalas senyuman itu? Itu terlalu menenangkan hati. 

“Itu artinya kamu akan belajar mencintaiku.”

Cepat-cepat aku menatap Zayyan yang kini balik menatapku dalam.

•••

Komentar