Langsung ke konten utama

gantung, sisanya hilang

KADANG aku berpikir diam-diam, apa iya semua lelaki sama saja? Menyemburkan rayuan gombal, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan mengungkapkan perasaan. Awalnya aku merasa tidak enak hati, sehingga berusaha menutur penolakan dengan halus. Namun, makin lama, aku terlatih menjadi galak dan jutek. Tidak tanggung-tanggung, sebelum keberadaan salah satu dari mereka mendekat, sudah lebih dulu kuberi peringatan berupa tatapan tajam, wajah garang, napas membara. Itu sukses, buktinya mereka langsung menyingkir dan mundur perlahan-lahan. Ah, seharusnya kulakukan saja hal konyol ini sejak awal, tidak usah susah payah sok baik—ujung-ujungnya aku juga yang repot. Setidaknya sudah beberapa hari ini hidupku jauh lebih tenang dari para lelaki tidak jelas itu. Jadi, aku lebih leluasa berkeliaran di area kampus ke sana kemari. Sebetulnya, tidak ada jam kelas—ya, dosen plontos selalu mengubah jam yang sudah ditentukan, tetapi tidak apa, paling tidak aku dapat bernapas dari mata kuliah penuh angka.

Akhirnya, memilih duduk di area kantin. Mengamati etalase-etalase berjejer makanan-makanan berat. Namun, siang hari ini aku sedang tidak berselera makan berat. Akan tetapi, bukan berarti tidak melepas dahaga dengan minuman es, ‘kan? Lantas, kupanggil Mbak Lail yang letaknya tidak jauh dari tempatku duduk. “Mbak, kayak biasa, ya!’

“Saya juga, Mbak!” sahut suara berat yang tiba-tiba langsung duduk di hadapanku dengan tampang tanpa dosanya. Lihat, sekarang dia melayangkan wajah genit dan penuh makna. Baiklah, lagi pula, aku rindu mengeluarkan jurus andalanku. Mata memicing tajam, mengeraskan wajah, kali ini napas kubuat dengan tempo pelan tapi pasti. Coba tebak? Bahkan sampai aku bertahan pada ekspresi konyol selama sepuluh detik lebih dikit itu tidak membuat lelaki di depanku ini angkat kaki juga. Lihat, dia justru menatapku geli dan menahan tawa—terlihat sekali bibirnya bergerak dalam bungkam ke kanan dan ke kiri. “Makin cantik aja Mbak-nya.” 

Aku melotot. Sialan. Tidak mempan? Kuperkirakan dia mengetahuinya maksud responsku barusan. Cepat-cepat lelaki dengan pakaian kasual abu - denim itu membeberkan klarifikasi, “Mbak tenang aja, saya enggak aneh-aneh. Beneran deh. Kalau mau aneh, udah dari awal semester saya deketin Mbak.”

Kuselidiki baik-baik fisik lelaki ini. Memang, kalau dari wajahnya yang sedikit—sekali lagi sedikit—manis, wajahnya memang tegas, tetapi air mukanya begitu tenang dan lebih santai—tidak brutal seperti lelaki lain yang pernah kujumpai. Benar juga, lagi pula sudah tujuh semester kuhabiskan waktu mengabdi di kampus tercinta ini, selama itu pula aku tidak pernah melihat lelaki ini berkeliaran di sekitarku. Menarik.

“Ya, saya mah yakin, Mbak enggak kenal saya. Saya mah cuma mahasiswa biasa yang menjalani kuliah demi tuntutan bokap.” Lelaki itu tertawa hambar. Dia melepas kemeja yang melapisi kaos abunya—cuaca sudah beberapa bulan ini memang panas sekali. 

Aku mengalah dan percaya, dia memang tidak seperti lelaki tidak jelas lainnya. Lagi pula, sudah lama sekali aku ingin berbicara ala kadarnya dengan sosok lelaki. “Jurusan apa?”

Seraya melipat asal kemejanya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Dia menghela napas. “Desain grafis. Padahal, saya sukanya seni rupa, Mbak. Tapi, disuruh bokap desgraf karena harus nerusin usaha bokap.”

Seketika rasa kesalku langsung lenyap begitu saja. Berubah menjadi iba dan mulai berempati. “Seni rupa? Melukis? Atau memahat?”

Dia menatapku sebentar, mungkin dia heran karena aku paham soal seni. Cish, biar bagaimanapun aku ini suka seni! Seni musik tradisional, kurang seni apa coba? Lelaki itu menjawab, “Iya, melukis dan memahat. Saya suka liat tetangga saya memahat wayang.”

“Wayang?” tanyaku dengan nada ketertarikan. Sebetulnya aku memang hanya tahu wayang sebagai kebanggaan Indonesia. Namun, ketertarikan lelaki itu gehdadal wayang membuatku tertarik.

Dia mengangguk. “Ya, saya suka memahat wayang, suka melukis apa pun yang saya suka. Cuma, ya, begitu,” lelaki itu berhenti sejenak, memberi jeda, “bokap lebih suka saya di desgraf.”

“Tapi, sebenernya bisa, ‘kan, seni rupa sama desain grafis disatuin? Apalagi sekarang era digital,” hiburku. “Kalo gue boleh ngomong sih, ibaratnya sekarang Lo udah nyebur kolam, udah basah. Jadi, ya, jalanin aja apa yang terjadi sama lo sekarang. Fokus selesaiin kuliah, setelah itu baru deh lo bisa sambil jalanin kesukaan lo terhadap seni rupa.”

“Iya, Mbak bener.” Lelaki itu terdiam karena Mbak Lail datang membawa dua pesanan Boba Brown Sugar dengan ukuran besar di hadapan kami. “Makasih, Mbak.”

Setelah Mbak Lail pergj, lelaki itu dengan geli berkata, “Saya juga kepikiran mau bikin wayang Gatot Kaca yang lebih modern, tapi pake sepatu Jordan. Tapi, ini pasti bakal kontroversial karena dianggap menghina Gatot Kaca. Padahal saya hanya berkreativitas.”

Menarik, memang. “Sebetulnya, Lo bisa tuh bikin tokoh wayang baru versi lo dengan konsep modern. Aplikasiin pake desain grafis. O, ya, animasi masuk desain grafis juga enggak sih?”

“Yups, termasuk, Mbak,” balasnya sambil menyeruput esnya.

“Kalau wayang gitu susah enggak sih bikinnya? Kayak misal, rumitnya di mana? Apa sayang itu dibikin misal kostumnya harus sesuai sama kisah cerita?” tanyaku penasaran ikut menyeruput es yang terasa manis di lidah. 

“Oke. Saya bakal jelasin panjang lebar nih, Mbak. Tapi kalo Mbak bosen sama pembahasannya, saya bisa pergi aja, Mbak.”

Aku mengerutkan kening dan menaikkan sebelah alis. Ini lelaki tampaknya begitu perasa dan sensitif. Cepat-cepat aku menggeleng, mencoba menunjukkan betapa antuasiasnya aku dengan pembahasan berbobot ini. “Heh, enak aja main nyelonong aja. Kelarin dulu pembahasan kita. Lagi seru nih, gue malah seneng dapet temen ngobrol cowok yang berbobot begini. Seenggaknya gue enggak bodoh-bodoh amat.”

Lelaki itu tertawa. “Oke saya jawab, ya.” Aku mengangguk antusias dan memasang telinga baik-baik. 


maaf, sisa ceritanya hilang. 

Komentar