SUATU KETIKA Bio mengamuk, kedua kaki gempal nan mungil menendang-nendang angin. Tangan kanan dan kiri bergantian mengusir air mata yang tidak kunjung mereda. Suara serak menggelegar, meracau, berbicara tidak jelas. Meski wajah bulat sempurna itu memerah, mencoba menarik simpati, tetapi makin kencang volume, makin tidak ada yang acuh. Sampai Bio berguling-guling di lantai, mengakibatkan baju polos dengan gambar bus tayo kotor karena lantai belum dibersihkan.
"Mana cokelat Bio, Ibunnn!" Masih dengan beringas Bio melakukan atraksi bergumul dengan lantai.
Daripada membalas, seorang perempuan dengan celemek merah jambu sibuk berkutat pada panci berisi sayur mayur. Suara gertakan antara sutil dan panci yang tengah mengoseng tumbuhan masak. Meski telinga terasa dipukul-pukul karena teriak tangis Bio menyerang dengan ganas. Sampai-sampai mendidihkan hati, meletup-letupkan percikan api dalam benak. Namun, perempuan berusaha untuk tidak acuh, meski berkali-kali hatinya berteriak-teriak untuk meminta Bio diam. Namun, pikirannya tidak akan membiarkan ego menguasai atau dia akan menjadi ibu menyesal suatu saat nanti.
"Ibunnn!"
Kali ini Bio kembali terduduk, tidak ada letih untuk mengeluarkan isi hati yang memanas. Tangan kanannya mulai menggerakkan asal kaki kursi sehingga menimbulkan decitan ngilu antara ujung kursi dengan lantai. Perempuan yang dipanggil Ibun itu mulai mengatur napas. Uap panas dari panci kalah panas dengan amarah yang ditahan-tahan dalam diri. Tatkala decitan kursi itu mulai menggerakkan meja dan khawatir beberapa lauk matang akan jatuh. Dengan rahang mengeras, dimatikannya kompor, melepas celemek, membersihkan wajah dari keringat dan tengkuk. Ibun berbalik setelah membuang napas secara pelan dan teratur. Bukan hal mudah, tetapi Ibun melunakkan wajah kakunya, meski merah padam masih menguasai permukaan pipi tirus itu. Didekatinya Bio, kemudian mengangkat anak semata wayang.
Suara tangis makin dekat dengan gerbang telinga. Namun, Ibun mencoba mengelus-elus punggung Bio, sesekali rambutnya. Tubuh Ibun bergerak ke kanan dan ke kiri guna memenangkan Boo, meski Ibun tahu itu akan sulit. Akan tetapi, itu lebih baik daripada Bio harus menangis karena kesakitan suatu saat nanti. Ibun bergerak dari dapur, ruang tengah kemudian menyalakan teve—Bio masih belum juga reda. Ibun melangkah ke ruang tamu, ke ruang bermain Bio. Meraih puzzle kesukaan Bio, tetapi Bio tidak acuh. Makin ditahan sesuatu dalam diri, rasanya Ibun ingin memukul apa pun. Ibun segera pergi ke kamar dan meletakkan Bio di atas ranjang. Setelah mengunci pintu kamar agar Bio tidak keluar kamar, Ibun memasuki kamar mandi di sudut dekat lemari.
Ibun cepat-cepat membasuh wajah di wastafel. Telapak tangan memukul-mukul sisi wastafel dengan keras, melampiaskan segala amarah. Deru napas menggebu-gebu, Ibun mendongak menatap pantulan dirinya di cermin. Ada wajah perempuan kelelahan di sana. Tiga tahun lalu, mata bulat itu masih berpendar memancarkan kilau. Kini mata itu dibubuhi warna sedikit gelap. Rambut ikal andalan dicepol ke atas, menyisakan anak rambut kusut di kisaran sisi pipi dan tengkuk. Di balik semua itu, ada perempuan yang penuh perjuangan melawan ego dan amarah. Ibun ingat betul tatkala Bio hampir terluka karena amarah tidak terkontrol darinya. Pun, Ibun tahu yang dilakukan saat ini akan menentukan apakah dia akan berhasil menjadi ibu?
"Tidak semua keinginan anak harus kita turutin. Takut ketika tumbuh remaja dan dewasa, mereka jadi anak yang sulit untuk berusaha dan manja, Bin."
Perkataan salah seorang sahabat mulai mengisi ruang kosong di pikiran perempuan itu. Awalnya, Ibun merasa risi karena sahabatnya itu terlalu ikut campur. Namun, tatkala Ibun mulai khawatir kalau Bio akan menjadi anak yang selalu meminta, selalu mendapatkan apa yang diminta. Lantas, bagaimana bila suatu saat Bio diharapkan dengan keadaan yang tidak bisa menghadirkan keinginannya? Sampai hari ini, beberapa waktu lalu, tatkala Bio meminta cokelat yang dilihat di tayangan iklan teve. Akan tetapi, Ibun menolak dengan halus, ingin tahu bagaimana respons Bio. Sesuai dugaan, Bio tantrum.
"Maksud aku menuruti keinginan Bio, kan, biar Bio enggak tantrum, Vin," sanggahnya pada Vini, sahabatku tadi.
Vini diam sejenak, sebelum kembali bicara dia mengelus kepala Bio pelan. "Yang terpenting itu bukan menghindari anak dari tantrum, tapi bagaimana cara kita membantu anak belajar mengontrol emosinya."
Pada akhirnya, Bio adalah anak yang akan mengalami masa tantrum juga. Tidak mudah, tetapi Ibun mulai berdiri dengan tegap. Dibenahi rambut amburadulnya dan dikuncir satu ke belakang. Ibun berusaha mengeluarkan pendar dari bola mata. Tidak lupa dua sisi sudut bibir yang haeus terkembang. Di luar, sayup-sayup Bio mulai reda tangisnya. Namun, masih sedikit-sedikit Bip menangis lirih. Ibun membuka pintu kamar mandi dan menghampiri Bio.
Tubuh Bio lemas karena telah melakukan atraksi selama hampir tiga puluh menit. Kulit sawo matang Bio mengeluarkan keringat. Rasa penyesalan mulai menyergap Ibun. Tangan Ibun mengusap-usap rambut Bio. Ibun mulai berucap, "Maaf, Bio. Ibun enggak bisa beliin Bio cokelat untuk saat ini."
Meski mata Bio mulai lelah dan dikuasai kantuk, tetapi masih terdengar Bio meracau menginginkan cokelat. Ibun ikut membaringkan tubuh dan menghadap ke arah Bio. "Ibun enggak mau Bio kesakitan karena gigi Bio rusak makan cokelat terus."
Sebelum Bio benar-benar terlelap, Ibun bangkit dan mendekati lemari Bio untuk mengambilkan Bio baju ganti karena tampak noda debu. Seraya menggantikan pakaian Bio, Ibun berkata, "Bio boleh makan cokelat kalau Bio rajin sikat gigi."
Dalam kantuknya Bio menyahut, "Bio janji, Ibun."
Ibun menghela napas lega, setidaknya untuk saat ini Bio berhasil melepaskan emosi melalui tantrumnya. Sampai Bio akhirnya mendengkur dalam tidurnya. Ibun mendekati meja kerja sang suami, meraih laptop dan mengakses internet. Ibun mulai mengetikkan sesuatu yang Vini rekomendasikan.
Belajar Parenting Dasar
Ibun tahu ini terlambat. Bio sudah empat tahun dan perempuan yang hampir menginjak kepala tiga itu mulai menyadari pentingnya belajar cara mendidik anak yang baik dan benar. Mengikuti pola asuh orangtua Ibun, hanya akan membuat Bio menjadi tumbuh dengan emosi yang tidak terkontrol. Ibun tidak mau Bip tumbuh seperti dirinya. Seraya belajar ilmu parenting, di sisi lain Ibun juga belajar mengendalikan dirinya.
Komentar
Posting Komentar