GUMPALAN sialan ini telah membuatku terpisah jarak berpulau-pulau dengan lelaki tercinta. Meski hampir satu hari tangan kami bertaut selama perjalanan yang akan berakhir memisahkan. Namun, kunikmati sisa-sisa waktu bersama kala itu, meski harus menahan serangan pukulan di dalam kepala oleh benda kecil mematikan. Aku mengaguminya, postur gagah yang takmempan disurutkan usia. Wajah berkerut itu masih sama seperti sejak awal pertemuan, begitu bijak dan penuh keyakinan. Namun, paling-paling makin membuat terpesona genggaman tangan itu terasa kuat seakan-akan takada tempat paling aman selain cakupan telapak tangannya. Garis bibirnya memang datar, tetapi matanya menyuguhkan harapan dan doa. Takperlu dia banyak bicara, sikapnya telah mengatakan bahwa dia mencintaiku yang tengah bertaruh nyawa. Takada hal paling menyenangkan kecuali mendapati lelaki tercinta masih berdiri kokoh sampai pangkal rambut dihiasi uban.
"Saya akan terus memantau kondisi kamu dari rumah." Tangan lainnya mengelus puncak kepalaku, lembut, menyalurkan kehangatan yang kuresapi rasanya sebelum lelaki itu benar-benar pergi. "Jika terjadi sesuatu, hubungi saya dan saya akan menjaga anak-anak."
Sementara, bagaimana kubisa tegar seperti dia yang dengan langkah besar, tetapi berat hati untuk keluar dari pintu gerbang dan masuk ke dalam kendaraan roda empat. Sebelum mobil itu melaju dan hilang dari pandangan, dibukanya pintu kaca untuk memperlihatkan wajah lelaki itu. Kali ini dia tersenyum, tetapi permukaan matanya basah. Mata itu takkan pernah bisa berpaling dariku sampai akhirnya jalanan depan pintu gerbang sudah kosong.
"Jaga dirimu, Mas."
Hari-hari dijalani dengan kesulitan, kekuatan hanya bisa datang dari diri sendiri. Sumber kekuatan paling besar hanya suara berat dan lembut dari balik ponsel setiap pukul lima subuh, pukul satu siang, pukul tujuh sore, dan sebelum kami tidur. Andailah lelaki itu masih di sampingku saat ini, kurasa penyakit ini akan dengan sendirinya pulih—aku terlalu naif, memang, hanyalah cinta ini begitu kuat dibanding kepedulianku terhadap penyakit ini. Kadang-kadang kukeluhkan hari yang entah panas, entah mendung, entah sejuk untuk meratapi nasib kesehatan yang sekarat ini. Siapa sangka gumpalan itu memilih untuk mendarat dan singgah di dalam kepalaku? Mengapa takdir begitu tega menyulitkan lelaki tercintaku banting tulang lebih-lebih, memporsir pikiran untuk mengeluarkan banyak uang demi kesembuhanku. Di samping betapa kagumnya aku, pun aku taktega dengannya. Setelah saluran telepon tertutup, tersisalah doa baik-baik untuknya.
Satu bulan sudah berlalu, dokter memintaku untuk berhenti menggunakan ponsel. Itu artinya, takada komunikasi intens dengan lelaki tercinta. Kemudian, aku takhanya tersiksa dengan luka operasi pengangkatan tumor, tetapi juga tersiksa karena rindu yang mengiris. Kadang-kadang menangisi rambut yang makin rontok, cerminan diri yang tua dan takcantik lagi. Apakah lelaki tercintaku akan tetap mencintaiku? Dalam beberapa waktu, kadang kala menemukan diri berpasrah pada takdir. Mengapa penyakit ini begitu tega menyiksaku? Mengapa harus aku yang diminta mengemban tugas untuk dijejaki tumor taktahu diri? Mengapa pula harus aku dari banyaknya manusia di dunia ini? Akibatnya, aku berpisah lama sekali dengan lelaki tercintaku.
Kapan akan datang, Mas?
Uang gaji telah habis untuk biaya hidup dan pengobatanku di sini. Akibatnya, lelaki tercintaku taksampai-sampai ke sini. Kurindu pelukan hangat dan belaian kasihnya. Jarang sudah kami saling berinteraksi. Aku khawatir dia risau memikirkanku di sini. Ingin rasanya cepat-cepat pulang dan kembali melanjutkan kisah kasih sampai usia menjadi penutupnya.
Aku pulang, Mas.
Daripada pulang, ternyata seharusnya aku takusah pulang. Maafkan karena telah mengeluarkan gumpalan ini begitu menyiksaku, nyatanya takdir seakan-akan memberi pelajaran dan menunjukkan. Ada yang lebih menyakitkan dari tumor yang menusuk-nusuk tiap dinding otak. Mendapati kejujuran bahwa lelaki tercintaku tengah melanjutkan kasih bersama dengan perempuan lain, kali ini sesuatu yang asing takhanya memukul-mukul hati, tetapi memporak-porandakan seisi hati, pikiran, bahkan duniaku. Apa aku harus marah lagi kepada takdir yang lagi-lagi tega menyiksaku?
Komentar
Posting Komentar