Langsung ke konten utama

ada yang lebih penting daripada mengunci pintu

ADIPATI datang di kala surya disembunyikan awan kelabu. Biasanya, aku akan selalu merasa khawatir apabila pasukan air meluruh. Meskipun kemudian menjadi perempuan pasrah karena dibasahi hujan. Berteduh hanya membuang-buang waktuku. Lebih baik berlari untuk sampai tujuan, daripada diam terpaku di bawah teduh mengamati titik-titik berjatuhan kemudian memantul mengenai aspal. Kali ini, Adipati datang bersama payung transparan, terulur di hadapanku. Sementara aku diam saja, di tengah-tengah gemuruh yang berusaha mengusik pikiran penuh pertimbangan. Apa harus kuterima payung tersebut, sudah lama sekali tidak melangkah tanpa takut basah di bawah para untaian air hujan. Namun, apabila kuterima payung itu, apa diri ini akan mampu terselamatkan kembali?

"Kurasa kamu selalu meringkuk di balik selimut saat musim hujan, benar?"

Sialnya, bukan hanya menerima payung itu, melainkan membiarkan aku dan Adipati bernaung di bawah hujan. Entah ini harus terjadi atau tidak, bisikan hati menjadi penenang diri. Aku hanya ingin sekali saja melabas hujan tanpa takut basah. Sekali ini saja, biarkan kurasakan berjalan bersama Adipati. Hampir seratus hari terakhir, selama itu aku dan Adipati saling mengenal. Pun, selama itu tidak kubiarkan tempat terlarang dalam diriku terbuka. Bahkan apabila Adipati mengetuknya berkali-kali, jika Adipati suka berdiri di depan pintu. Aku berusaha menahan kunci dan bergejolak di baliknya. Itu tadi, saat ini aku membukanya. Aku memberi pasokan udara merasuk tempat terlarang yang telah bertahun-tahun lembab dan suntuk.

Beriringan bersama Adipati seperti ini, sesuatu yang telah lama tertahan kini berpacu dan memompa. Seperti keajaiban, alih-alih udara dingin menusuk, kehangatan yang menguar dari tubuh Adipati mampu menyelimuti tubuhku. Sengaja kuperlambat langkahku, tidak mau cepat sampai tujuan. Ingin berlama-lama dengan Adipati. Tunggu dulu, bagaimana bisa lelaki itu mengetahui bahwa aku akan menggigil gemetar mencari kehangatan di balik selimut kala hujan bertandang? 

"Itu benar. Bagaimana kamu tahu?" Aku bertanya seraya menyembunyikan senyuman. Dalam pikiran, hati membisik penuh rona. Bukanlah itu artinya Adipati memperhatikanku? Ah, pikiran ini membuat hati bersorak gembira, menyambut bunga yang menghujani. 

"Setiap hujan, kamu enggak pernah berteduh. Sudah jelas menghabiskan malam dengan meringkuk setelah menelan obat pereda demam," jawab Adipati seraya memajukan payungnya sedikit ke arah depan ketika kami berbelok ke kanan melalui ruko-ruko yang baru saja dibuka. 

Hati kini bertindak makin abnormal, tidak terkendali. Setelah bersorak, kini ia menari-nari mengikuti degupan irama jantung dengan tempo cepat. Alunan musik dari hujan terdengar seperti klasik yang menjadi melodi hati dan jantung berpesta merayakan kehidupan baru bagi tempat terlarang. Itu yang terjadi dalam diriku, sementara diriku berusaha bersikap tenang, melangkah dengan tempo pelan, kadang-kadang kubasuh wajah demi menutupi kemerahan karena malu. 

"Wajahmu selalu merah kalau dingin, ya?" 

Mana mungkin dia mengikutiku sedetail itu, kan? Aku membayangkan tatkala di balik pintu kaca memandang dari kejauhan. Hampir seratus hari kukagumi Adipati dari jauh, tidak pernah pandangan kami bertemu. Namun, memang mana bisa kupandang Adipati tatkala wajahku merunduk menghindari rintik yang begitu tajam. Tiba-tiba sesuatu yang seperti masa lalu terjadi. Skenario yang sama, tatkala kubuka tempat terlarang, para penghuni berpesta, lantas yang terjadi selanjutnya adalah porak poranda. Tidak bisa ditutup kembali, entah ke mana kubuang kuncinya. 

"Entah, aku tidak bisa melihat wajahku sendiri tanpa bercermin. Omong-omong, kurasa kamu tidak perlu repot-repot memperhatikanku sampai seperti itu." Aku sedikit tertawa, tetapi selanjutnya menyesal. Entah terlalu percaya diri atau memang takut untuk kembali patah hati. Lagi pula, Adipati tidak akan mengerti makna warna merah yang sedang melanda wajahku saat ini. 

Adipati ikut tertawa dan telingaku dengan sigap menangkap frekuensi renyah untuk dijejali ke lorong-lorong sampai berakhir di pusat pesta. Ingar bingar makin ramai dan riuh, bahkan tatkala diperingatkan untuk jangan terlalu bahagia, tetapi tidak didengarnya. Percuma, tetapi aku hanya menyiapkan diri untuk kemungkinan yang akan terjadi. 

"Itu hanya kebetulan yang terjadi berulang kali." 

Ya, ketika diriku tidak mampu meredam bising di tempat terlarang. Akan tetapi, Adipati mampu meredamnya. Pesta mendadak tidak seriuh tadi. Aku terkekeh, sudah kubilang jangan terlalu berlebihan, dasar hati bodoh. Dengar itu, dia bilang kebetulan, bukan dengan sengaja memperhatikanku. 

Sampai langkah kami terhenti di depan ruko yang pintu kacanya masih tertutup. Setelah meletakkan payung di depan pintu, Adipati sedikit menyapu sisa basah di kemeja bagian kanan. Dia menyapaku dengan senyuman yang tidak pernah tidak manis. Mata kecil yang selalu menyorot teduh seakan-akan Adipati adalah tempat berteduh paling tepat. Adipati bertanya, "Tidak dibuka tokonya?"

Setelah sadarku kembali, kuraih kunci toko dan mulai membuka pintu. Aroma berbagai jenis bunga mulai menyambut. Aku berbalik dan menatap Adipati. "Mau masuk dulu sampai hujan berhenti?" 

"Tidak perlu." Adipati menggeleng, dia meraih payung dan tersenyum ke arahku. "Aku harus segera ke tokoku. Sampai jumpa, Nala!"

Pelan-pelan pesta mulai riuh kembali tatkala mataku menangkap dan menyimpan bentuk senyumannya. Paling tidak bisa dikendalikan adalah ketika namaku lolos begitu saja dari tutur dengan suara sehalus kapas. Namun, itu tidak bertahan lama. Perlahan-lahan hati mulai berteriak marah, bukan sorai. Memukul-mukul dinding tempat terlarang. Membakar tempat terlarang sampai habis tidak tersisa. Porak poranda telah terjadi. Di ujung jalan yang berbelok, Adipati berbaik hati menawarkan payungnya sebagai kendaraan untuk seorang perempuan sampai tujuan. Ya, bersama lelaki itu di bawah payung yang melindungi dari hujan. 

Sudah lenyap. Aku gemetar kecil. Begitu lihai memeriahkan pesta, tetapi begitu cepat pula membuat porak poranda. Kubuka lebar-lebar pintu toko, membiarkan sedikit air hujan mengenai teras dan lantai. Kuseret tirai ke masing-masing sudut. Kali ini, kubiarkan pintu terbuka, tidak akan ada lagi tempat terlarang. Ada yang lebih penting daripada menutup hati, yaitu belajar mendekorasi hati agar tetap terawat dari patah hati. Pintunya tidak akan kuberi kunci, aku belajar kembali. Aku lupa bahwa tidak semua orang mengetuk pintu untuk singgah dan menetap. Adipati hanyalah tamu spesial yang hanya membantuku untuk tidak terkena hujan sampai tujuan. 

Komentar

  1. Wah jujurly saya kaget, kirain artikel ternyata cerpen. Keren kak

    BalasHapus
  2. Biasanya kak vina nulis tentang tulisan nonfiksi, sekarang aku baca yang tulisan fiksi. Keren uwaw

    BalasHapus
  3. Ah, Adipati. Andaikan kamu tahu bahwa gemuruh pesta ini lebih dari apa pun, atau jangan-jangan kamu paham tapi jual mahal :)

    BalasHapus
  4. wah ngeri ya adipati bisa membuka tempat terlarang yang selama ini terkunci

    btw, aku tiba-tiba terbayang gimana kalau cerpen kayak gini terrealisasikan di kehidupan nyata. maksudku, pas lagi diem, tiba-tiba aja muncul prolog panjang di dalam pikiran. heheheeh... zen

    BalasHapus
  5. Ah, kenapa endingnya harus sad. Padahal aku membayangkan perasaan Nala dibalas sama Adipati. Tapi rupanya dia hanya singgah ya :(

    BalasHapus
  6. :(( kok sedih siihhh jadii ga lega ih hahaha.. aku coba baca ulang berharap endingnya bisa hepi hepii ajaabisa gaak

    BalasHapus
  7. Mangstapp, merambah fiksi juga. Aku suka nih cerita yg sad ending begini, wqwqwq.

    Kadang memang orang datang hanya untuk singgah, bukan untuk menetap, huhuhu

    BalasHapus
  8. Pukpuk akuuu. *eh. Dasar Adipati kang rayu! Hobinya cuma mampir ke hati aja, ckckk

    BalasHapus
  9. Waah...kirain bakalan menetap, ternyata hanya singgah ya. Begitulah, kadang yang diharapkan enggan bertandang lama dan menetap, hanya sekedar mampir

    BalasHapus

Posting Komentar