Langsung ke konten utama

merah muda, biru, jingga

LELAKI itu hadir di kisah-kisah yang hampa. Hadir membawa pasukan warna-warni. Kehangatan dari sikapmya yang begitu lembut. Senyuman manis seakan-akan lukisan paling indah yang pernah kulihat selama kisah ini berjalan. Ingat sekali, di kala tangannya terulur memberi warna-warni yang bisa kupilih. Awalnya aku ragu, tetapi sudah lama sekali kisahku hanya berwarna abu-abu. Kupikir tidak ada salahnya untuk mengambil beberapa warna untuk menemani abu-abu, bila perlu mengikis abu-abu. Sejujurnya, aku audah jengah diselimuti dengan abu-abu yang menguar. Jikalau kubalik tubuh, atau berjalan sedikit ke belakang. Tidak ada warna-warni yang menyenangkan kecuali di halaman-halaman awal kisah. itu terlalu jauh. Lantas, mana mungkin separuh hidupku hanya dipenuhi abu-abu, kan? Dengan penuh pertimbangan, kuambil warna merah muda, biru, dan jingga. Hanya tiga, tidak banyak. 

"Terima kasih," kataku pada lelaki itu yang kini mengangguk dan tersenyum. Tanpa membalas, dia berbalik dan meninggalkanku bersama warna-warni di genggamanku. 

Akan kuapakan warna dengan penuh pertimbangan ini? Di mana harus diletakkan masing-masing warna ini? Jadi aku herbalik, melangkah kembali sambil memikirkan lokasi yang tepat untuk meletakkan warna-warni ini. Aku tahu, tidak boleh kusalah ketika menempatinya. Atau akan menjadi serangan sendiri bagiku. Dalam perjalanan, kurasakan sesuatu yang sangat kembali menyentuh sisi kiri tubuhku. Aku menoleh, di bawah sinar jingga sore itu, wajahnya berkilau bsgitu mempesona. Secara sadar kuleykkan warna jingga di pikirkanku, manakala pikiranku akan terus mengingat wajahnya di bawah sinar jingga. 

"Kaukembali lagi, ada apa?" tanyaku pada lelaki itu. 

Lelaki itu hanya tersenyum. Ketenangannya menampilkan betapa kharismatik lelaki itu. Sorot mata yang teduh, tetapi penuh keyakinan. Langkah besarnya berusaha menyamaiku seakan-akan aku dan dia menapaki jalan yang sama. Jadinya, entah memgapa kuikuti saja langkah perginya lelaki itu. Berbelok ke kanan, lurus melaju, ke kanan, ke kiri. 

"Ini tempat yang kutuju."

Waena biru daei danau di depan mendominasi indra penglihatan. Begitu tenang di bawah langit uang kala itu membiru sempurna. Beberapa pohon memilih singgah berjarak beberapa meter saling mengelilingi danau. Hanya ada aku dan lelaki itu yang kini bergerak melaju dan duduk bersandar di salah satu pohon yang tidak begitu hesar. Namun, daun-daunannya cukup rindang. Jadinya aku memilih ikut duduk di sampingnya. Mata teduhnya tadi menjadi bersinar kala memandangi langit, kemudian menjadi teduh kembali di kala pandangannya jatuh di permukaan danuh. Dia masih tetap tenang, kadang-kadang senyum simpul tercipta. Sampai lelaki itu tanpa aba-aba menatapku. 

Sontak kubuang wajah ke depan. Sesekali aku berpaling ke atas menatap daun-daun. Malu sekali, menyapa harus kutatap lelaki itu sedalam itu? 

"Memangnya aku lebih menarik daripada danau dan langit di depanmu?" 

Kali ini aku menunduk sebentar, memikirkan rangkaian kalimat yang akan menjadi jawaban dari pertanyaan yang sudah memiliki jawaban itu sendiri. Aku menjawab, "Bukankah manusia punya makna estetika tersendiri daripada danau dan langit?"

Ya, kurasa itu jawaban yang bagus dan cukup rasional. Emtah masuk akal atau tidak. Namun, itu mampu membuat lelaki itu mengangguk dan kembali pada pandangan awalnya. Aku pun dapat menghela napas lega. 

"Kausuka apa yang sedang kautatap, ya?" tanyaku. Sebetulnya tanpa kutanya, cara memandang lelaki itu terhadap danau dan langit di depamnua sudah menjelaskan segalanya. 

"Ya. Mereka begitu biru. Menenangkan diri."

Kuraih warna biru yang dari tadi kuletakkan di saku. Kuletakkan warna biru biru itu di kedua mataku. Kemudian kutatap danau dan langit. Kukembangkan senyuman dan sesuatu mulai menggelitik dalam diri. Seakan-akan bintang-bintang berjatuhan menghiasi permukaan danau. Sementara, langit memancarkan biru yang kerlap-kerlip. Begitu beesinar dan indah. 

"Indah," gumamku. Aku menatap lwlaki itu. Kali ini lelaki itu tampak lebih-lebih indah lagi. Mana bisa kualihkan pandangan daei wajah semanis madu. 

Sampai lelaki itu kembali menatapku. Aku tahu tatapamku begitu nyaring menyapamya. Tidak lagi kubuang wajahku. Kubiarkan waktu berhenti. Tatapam teduh itu jatuh di pandanganku. Senyuman itu masih terkikis indah. Sesuatu mulai memompa jantung. Detakan berpacu di atas normal. Kehangatan menjalar di balik kulit-kulit. Kebahagiaan berkumandang bagaikan kabar baik di tengah-tengah kejengahan. Kuambil warna merah muda dan dengan sadar kuletakkan dan kutanamkan di dalam hati. Semua pemberian lelaki itu, telah singgah di tempat-tempat terpilih. Aku tidak tahu bagaimana masa depan mempermainkan keputusanku. Hanyalah saat ini, biar kupadu perasaan merah muda menjadi saksi kisah yang kembali hidup. Biarkan biru menjadi saksi ketenangan mata dalam memandanginya dengan selalu indah. Biarlah pikiran menjadi jingga yang bersinar karena terus memikirkannya. 

Komentar