Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2023

depresi

DADA itu sesak. Penuh api-api amarah, percikan kecewa memantik bakaran baru. Bak rumah dilahap si jago merah, air seakan-akan beringsut menjauh. Pisau di tangan siap-siap menancapkan diri di atas permukaan perut. Badai petir bersahutan bak melodi pengiring. Hujan deras malam itu menemani tangisan perempuan paruh baya yang sedang terluka hati dan pikirannya. Mana kala malam itu akan menjadi malam terakhir yang tragis. Marah pada takdir yang melulu buat tangis. Menyerah pada kehidupan yang begitu bengis.  ••• Sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk membenci lelaki paruh baya yang tengah terbatuk-batuk. Tubuh yang dulunya berisi, kini mengkerut. Setidaknya setelah serangan jantung menyapa hidupnya. Kini yang ada hanya rasa sesal karena telah membenci. Ada iba kian merebak mengembalikan cinta yang dulu terempas.  Kalau-kalau lelaki paruh baya itu tidak semena-mena pada perasaan. Kalau-kalau dia tidak mengkhianati cinta. Apabila saja manusia yang terbaring lemah itu tidak menodai sebuah k

diserang pikiran sendiri

PIKIRANKU sakit. Dia sakit jiwa, meski tidak berjiwa. Dia keji, meski tidak punya hati. Dengan tega, berulang kali menusuk, memukul, menyabet, merajam, apa pun kegiatan pencipta derita dan luka. Si paling lihai merangkai kalimat-kalimat kosong. Tidak ada artinya. Alih-alih solusi, tiap kata membuat pucat pasi. Ia memang songkak, hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak memikirkan hati yang dibuat porak poranda karena betapa suntuk pikiran berkecamuk. Kalau diam-diam saja membusuk, bila dibiarkan akan makin mengamuk. Tempurung sialan, beban bertambah hanya untuk mengurusi pikiran mematikan.  ••• Rasa-rasanya dia kesal atau marah padaku. Tiba-tiba saja perilakunya lebih banyak diam. Tidak begitu gubris pada sekitar, sebenarnya lebih padaku. Berkali-kali kudekati, mencoba bertanya basa basi yang akhirnya berakhir mengutuki diri sendiri. Mana suka dia basa-basi, Bodoh! Bisa-bisa makin kacau dan makin tidak berselera saja untuk sekadar melihatku.  Jadi, sedari tadi kuketuk-ketuk meja, resah

di pantai klara

 SABTU pagi saat sedang menyantap soto untuk sarapan. Papa—pamanku—mengajakku ke pantai besok hari Minggu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan.  Dalam benak aku menimbang-nimbang, kira-kira bakal ikut berenang atau sekadar menikmati vibes pantai saja, ya? Mengingat agak ribet kalau harus bilas di bilik.  Setelah seharian berpikir, kemudian tidur di malam hari. Sampai esok pun tiba. Kuputuskan untuk tidak berenang dan menikmati vibes pantainya saja.  Tidak hanya itu, sambil menikmati vibes, aku pun sambil menulis artikel Travelling sebagai tanggung jawab tugas harus dikumpulkan hari ini juga.  Benar. Alasanku ikut ke lantai bisa dibilang karena aku ingin menulis. Omong-omong ini adalah artikel kedua yang kutulis di pantai sejak satu jam lalu.  Menyenangkan juga ternyata menulis di alam terbuka seperti ini. Merasa relaksasi dan pengalaman menulis jadi lebih tenang. Ditambah jarum pasir serta lautnya.  Kalau ke pantai, tujuannya pasti selalu Klara. Entahlah dari zaman aku kecil, s

hilang

AKU telah siap akan kehilangan. Ini tentang raungan para manusia, melulu berkoar atas ketidakterimaan diri karena telah merasa kehilangan. Dalam teriak meraung, kudapati spektrum mengalun kacau mengabar pada telingaku. Kehilangan adalah masalah paling meresahkan, begitulah suara raung itu menggebu dengan emosional. Dihabiskan berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun-tahun untuk akhirnya bisa menerima yang telah hilang. Itu pun yang hilang masih terngiang-ngiang. Menghantui masa dengan kisah di masa lalu. Maka, dari isakan tersiksa para manusia itu, kusiapkan diri menghadapi kehilangan.  Hanya saja permasalahannya adalah, siapa atau apa yang bersedia menjadi objek untuk singgah di hidupku dan kemudian menghilang? Nyatanya, aku pun seorang diri di gumpalan bumi. Mengarungi hari-hari tanpa cerita, warnanya abu-abu. Siapa yang mau sejenak saja singgah. Bisakah aku merasai rasanya kehilangan? Bolehkah aku meresapi luka-luka untuk menggerogoti hati yang kosong? Maukah semesta menghadir