Langsung ke konten utama

I Wanna Say, "I Love You!"

AKU tidak mau gegabah, lagi. Meskipun hitungan keputusan sebelumnya tidak termasuk gegabah, tetapi cukup membuang-buang waktu. Waktu yang harusnya bisa digunakan untuk mencari jati diri, sibuk mencintai orang lain. Kesempatan yang mestinya dimanfaatkan untuk mengembangkan diri, terbuang karena sibuk menata hati. Kali ini tidak boleh gegabah, tetapi tidak lantas menutup hati. Patah hati boleh meloloskan air mata seember penuh. Namun, patah hati tidak boleh mengunci hati seperti yang sudah-sudah. Seperti perempuan malang yang rapuh di sudut kegelapan. Tampak menyedihkan karena tiada cinta betah berlabuh.

Penataan hati sudah berjalan dua tahun belakangan. Sekarang aku sudah jauh lebih baik, sedikit merdeka. Setidaknya kali ini aku bisa melengkungkan senyum bangga kepada diri sendiri. Lihat, sekarang aku bisa menyikapi patah hati dengan bijak. Asal kautahu, lima tahun lalu aku seperti orang gila karena kehilangan cinta. Menangis dan mengunci diri di kamar yang tirai jendelanya tidak pernah kubuka hampir satu pekan. Tidak mengacuhkan demonstrasi cacing-cacing perut yang meminta hak untuk diberi asupan. Seakan-akan kehidupan akan menghadapi kiamat kecil. Aku tertawa jengkel kalau mengingat betapa bodohnya diriku menangisi lelaki beracun itu! Ya, ya, ya, dulu otakku mungkin mentok, sulit berkembang sehingga macet untuk berpikir.

Masalah baru—entah ini masalah atau bukan, yang jelas cukup mencemaskan—datang lagi. Tatkala hatiku sudah lebih prima dan fit, tatkala bersiap bebenah untuk mengenali dan mengembangkan diri. Ada yang datang memberikan kupu-kupu, tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Bukan soal cinta, melainkan kngeraksi yang perlahan-lahan menyisipkan sedikit demi sedikit rasa manis. Dan, kini sudah berjalan lima bulan. Dia begitu intens. Dia menganggap setiap pembicaraan—bahkan ceritaku. Dia tidak menjauh ketika aku melakukan kesalahan, justru dia mengevaluasi. Dia menghargai perbedaan. Dia membuat aku nyaman, di saat yang bersamaan aku merasa takut ....

Kautahu pasti apa maksudku, kok.

Meski aku tidak mengunci hatiku, tetapi aku tidak berani untuk membiarkannya masuk ke dalam hatiku lebih jauh lagi. He could leave at any time and I would be heartbroken. Betapa aku tidak mau membuang-buang wakhuku yang sangat berharga ini. Namun, aku tidak mau naif. Aku juga butuh dicintai. Masalahnya, does he love me? Aku butuh kepastian, tetapi aku terlalu malas jika harus menata hati kembali. Apa harus kembali menjadi perempuan pemberani yang mengungkapkannya isi hati lebih dulu dan kembali pupus lagi? Jika benar pupus, aku bisa-bisa mencurigai ini adalah kutukan! Aku harus bagaimana?

“Kamu udah coba?” tanya lelaki di depanku sambil meletakkan sebotol mineral dingin di depanku. Mata sipitnya menatap lurus ke arahku. Aku bisa bersikap biasa saja, tetapi hati dan jantungku masih terus berdansa tanpa lelah.

“Belum, sih,” balasku seraya memutar tutup botol yang segelnya sudah dibuka, “aku masih kurang yakin.”

Lelaki di depanku mengerutkan kening. “Padahal udah di depan mata. Kamu hanya perlu percaya diri, Iv.”

Aku melukis senyum tipis, bagaimana aku bisa untuk tidak menaruh hati? Motivasi darinya sangat bermakna, tetapi juga berbahaya. Dia memang sudah di depan mataku. Aku bukannya tidak yakin, melainkan aku tidak siap untuk gagal lagi dan lagi. Aku menunduk memperhatikan gumpalan bakso yang tersisa dua bola. Aku punya dua kekhawatiran sekarang; melanjutkan kompetisi dan melanjutkan perasaan. Keduanya bila dilanjuhkan sama-sama melaju lebih jauh. Keduanya membawaku pada dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Namun, pelan-pelan aku berucap, “I’ll try, Ry.”

“Nah, gitu, dong. Ive yang kukenal, tuh, pantang menyerah.” Aku mendongak untuk kembali melihat perubahan ekspresi Ryu yang kini lebih hangat. “Kalo punya bakat nulis, jangan dipendem. Aku sering bilang, I liked your short story.”

Senyumku makin melebar. Denganku, apakah suka juga? Apa katanya tadi, pantang menyerah? Aku nyaris menyerah memperjuangkan lelaki baik hati ini. “Makasih, ya, Ryu. Kalo aku berhasil, aku traktir boiled potato!”

Ryu mendelik. “Itu, sih, kamu traktir diri kamu sendiri.”

Aku tertawa. Kira-kira aku bakal berhasil tidak, ya? “Ya, udah. Nanti kasih tau aja mau apa. Oke?”

Ryu mengangkat tangan memamerkan jempol. “Enggak usah mikirin itu, yang penting sekarang kirim cerpennya. Tinggal tunggu pengumuman. Jangan lupa berdoa, Iv.”

Aku merasa mendapatkan percikan api yang membuat percaya diri lagi. Aku mengeluarkan ponsel dari saku tas ranselku. Mencari-cari sesuatu di sana. Voila! Ketemu. Kubuka tautan di sebuah website milik penerbit mayor, mengisi dan melengkapi data-data yang tertera. Pada kolom terakhir, formulir tersebut memintaku untuk menambahkan fail naskah. Sebelum itu, aku memanggil Ryu, “Ry.”

“Hm?” Ryu menaikkan alisnya dan balas memandangku.

Aku menyodorkan ponsel ke arahnya. “Aku mau kirim naskahnya sekarang.”

Ryu meraih ponselku dan mengerlingkan matanya ke arahku. “Sini, aku aja yang kirim.”

“Judul naskahnya I Wannaa Say, “I Love You!”.”

“Tumben kamu bikin cerita cinta.” Ryu menautkan alisnya heran, tetapi mata dan jarinya sibuk berkutat pada ponselku. Kemudian dia memperlihatkan fail yang dia temukan ke aku. “Yang ini, ya?”

Aku menyipitkan mata memastikan judul fail naskah yang akan dikirimkan. Aku mengangguk mantap. “Iya, itu. Kirim yang format PDF.”

Hening beberapa saat sampai Ryu sedikit berteriak, “Selesai! Semoga ada kabar baik, Iv!”

Aku meraih ponsel dari tangan Ryu. “Semoga, ya.” Semoga ada kabar baik dari kamu juga, ya, Ry.

“Boleh spill ceritanya tentang apa?” tanya Ryu.

Aku berpikir sejenak, mempertimbangkan. Untuk cerita pendek kali ini yang aku bikin, aku merasa tidak sekarang diceritakan kepada Ryu. Biasanya memang aku selalu menceritakan isi cerita pendekku kepada lelaki di depanku ini. Namun, naskah kali ini, berbeda. Aku tidak biasa menulis cerita cinta. Dan, aku tidak biasa menulis cerita cinta tentang diriku, dan ... Ryu. Jadi, aku membalas pertanyaanmya dengan menggeleng.

“Maaf, ya, tapi one day, you’ll find out. I promise!”

Ryu kecewa, terlihat dari air wajahnya yang sedikit mengendur. Namun, lelaki itu kembali tersenyum lebar. “Ok, I’ll wait.”

“Tapi ada satu yang bisa aku spill,” kataku cepat. Ryu kembali memasang wajah ceria dan saksama, seperti bocah mendapatkan mobil-mobilan baru. Aku tertawa. “Ending ceritanya gantung karena si tokoh perempuan masih menggantungkan perasaannya.”

Aku menatap lurus tepat di mata Ryu. Lelaki itu tampak berpikir, sementara aku mencoba menyalurkan emosi yang membludak melalui tarapan ini. Aku tidak berusaha membuat Ryu mengerti, tetapi aku berharap Ryu merasakan hal yang sama. Namun, makin kutatap, perasaan takut makin merayap. Lelaki itu masih tetap terkunci pada mataku. Ry, sampai kapan aku harus menggantungkan perasaanku

Cepat-cepat, aku menunduk dan berpura-pura sibuk pada ponselku. Selanjutnya kembali hening. Berganti suara angin sore yang bersahutan dengan tarian pepohonan di sekitar.

“Ive, enggak seharhsnya perempuan menggantungkan perasaannya.”

Aku terkejut, tetapi aku tidak berani mendongak. Aku takut. Takut memahami makna perkataan Ryu barusan.


Komentar